Sebelum baca postingan kali ini, aku anjurkan kamu untuk baca ini dulu biar bisa dapat konsep yang lebih clear http://ikkiriskiana.blogspot.com/2021/03/pandangan-teori-evolusi-terhadap.html.
OKAY LANJUTT.
Jika
ditelusuri kembali, semua budaya yang ada selalu mengakar di kebutuhan
biologis manusia sebagai organisme yang terikat pada hukum evolusi. Dimana
hanya gen-gen yang survive yang bisa ada seterusnya di muka bumi. Budaya juga
menjadi bagian dari proses bertahan hidup. Segala budaya berakar di
biologi.
Contoh:
Pertama,
Incest jadi budaya yang tidak baik saat ini karena kalau kita tarik jauh
ke belakang dengan menggunakan framework evolusi: gen-gen yang diturunkan,
kemampuan survivenya lebih rendah daripada yang tidak incest (berpotensi besar tidak
survive, misalnya karena cacat saat lahir).
Kedua,
budaya cenderung meniru kebiasaan yang dipuji dan diterima oleh kultur kita
karena kita memiliki hasrat yang kuat untuk menyesuaikan diri dan menjadi
bagian dari kelompok (sifat dasar manusia).
Manusia
sama seperti hewan yang senang bergerombol. Kita ingin merasa cocok, terikat
dengan yang lain, dan mendapatkan rasa hormat serta persetujuan dari sesama
kita. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini sangat penting bagi kemampuan
bertahan hidup kita. Dalam sebagian besar sejarah evolusi, nenek moyang kita
hidup berkelompok. Terpisah dari kelompok –atau lebih buruk lagi, diusir dari
kelompok – sama artinya dengan hukuman mati. “serigala yang sendirian akan
mati, tapi kelompoknya tetap hidup.” – Game of Thrones. Raise your hand if you
watched it!
OK Now
hands down. Sementara itu, mereka yang berkolaborasi dan memiliki ikatan dengan
yang lain merasa makin aman, dapat mempunyai pasangan, dan bisa menikmati
sumber daya bersama (Survived). Sebagaimana ditulis oleh Charles Darwin, “Dalam
sejarah panjang umat manusia, mereka yang belajar berkolaborasi dan mampu
berimprovisasi secara paling efektiflah yang berhasil bertahan hidup.”
Akibatnya, salah satu hasrat manusiawi yang paling dalam adalah merasa
dimiliki. Preferensi kuno ini memberikan pengaruh yang sangat kuat pada
perilaku modern kita.
Kita
seperti mengikuti naskah yang diberikan kepada kita oleh teman dan keluarga,
oleh agama atau sekolah, oleh masyarakat di sekitar kita, dan oleh masyarakat
di lingkungan yang lebih besar. Tiap kultur dan kelompok ini memiliki
seperangkat harapan dan standar masing-masing –kapan dan di mana harus menikah,
berapa banyak anak yang dilahirkan, hari raya yang harus dirayakan, berapa
besar biaya untuk pesta ulang tahun untuk anak, dsb. Dalam banyak hal,
norma-norma sosial ini adalah aturan-aturan tak terlihat (invisible) yang
mengarahkan perilaku kita setiap hari. Kita selalu mengingatnya, bahkan
meskipun bukan yang paling utama dalam pikiran kita. Seringkali kita mengikuti
kebiasaan-kebiasaan dalam kultur itu tanpa berpikir, tanpa bertanya, dan
terkadang tanpa mengingat, gas aja gitu. Seperti yang ditulis oleh filsuf
Prancis Michel de Montaigne, “Adat dan gaya hidup dalam masyarakat menyapu habis
kita semua.”
Seringkali
hidup seiring dan sejalan dengan kelompok kita terasa sebagai beban.
Semua orang merasa ingin dimiliki. Bila dibesarkan dalam keluarga yang memberi kita
ganjaran karena keterampilan voli, maka bermain voli akan terkesan seperti kegiatan
yang sangat menarik. Bila bekerja dalam lingkungan tempat semua orang
mengenakan outfit mahal, kita akan cenderung membeli outfit yang setara dengan
orang lain. Bila semua teman mempunyai jokes, atau menggunakan bahasa gaul
baru, kita ingin memakainya juga, supaya mereka tahu bahwa kita “bagian dari
mereka”. Perilaku menjadi menarik ketika membantu kita menjadi sesuai/cocok.
Ketiga, Perilaku kita yang menginginkan ganjaran langsung.
Bayangin kalau kamu adalah banteng yang mengembara di padang Afrika. Pada suatu hari,
sebagian besar keputusanmu memiliki dampak langsung. Kamu selalu berpikir
tentang apa yang akan dimakan atau di mana akan tidur atau bagaimana
menghindari predator. Kamu terus berfokus pada masa kini atau masa depan yang
sangat dekat. Kamu hidup dalam situasi yang oleh ilmuwan disebut lingkungan
dengan ganjaran langsung karena aksi-aksi kamu langsung memberikan hasil
yang cepat dan nyata. Nah, sekarang balik lagi kamu sebagai manusia modern.
Dalam masyarakat modern, banyak pilihan yang kamu buat saat ini tidak akan
memberikan manfaat langsung kepadamu. Bila bekerja dengan baik di kantor,
beberapa minggu kemudian baru memperoleh ganjaran. Bila berolahraga tiap hari,
kita akan tidak kelebihan berat badan pada tahun depan. Bila menabung sekarang,
mungkin kedepannya kita akan punya dana pensiun yang cukup untuk beberapa puluh
tahun kedepan. Nah disini kalau kata ilmuwan, kita hidup di situasi yang
disebut lingkungan dengan ganjaran tertunda karena kita dapat bekerja
sampai bertahun-tahun sebelum kita memperoleh ganjaran yang kita inginkan.
Otak
manusia tidak berkembang untuk hidup di lingkungan dengan ganjaran tertunda.
Fosil paling tua yang menurunkan manusia modern, dikenal sebagai Homo Sapiens,
berusia kira-kira dua ratus ribu tahun. Homo sapiens ini adalah manusia pertama
yang memiliki otak yang relative mirip dengan otak kita. Lebih khusus lagi,
neokorteks –bagian otak paling baru dan yang paling berperan dalam
fungsi-fungsi lebih tinggi, seperti bahasa –memiliki ukuran yang kurang lebih
sama baik dua ratus ribu tahun lalu maupun sekarang. Kita saat ini
berjalan-jalan menggunakan perangkat keras yang sama seperti nenek moyang
paleolitis kita.
Baru
belakangan ini –selama sekitar lima ratus tahun terakhir– masyarakat manusia
beralih ke lingkungan yang sebagian besar memiliki ganjaran tertunda.
Pergeseran ke lingkungan dengan ganjaran tertunda mungkin dimulai sekitar
datangnya pertanian sepuluh ribu tahun silam, ketika petani mulai bercocok
tanam untuk dipanen beberapa bulan kemudian. Kendati demikian, baru beberapa
abad terakhir hidup kita diisi dengan pilihan-pilihan yang memberikan ganjaran
tertunda: perencanaan karir, pensiun, liburan, dll.
Sama
seperti hewan–hewan lain di padang rumput Afrika, nenek moyang kita menghabiskan
hari-hari mereka untuk bereaksi terhadap ancaman yang mematikan, mengamankan
makan untuk besok, dan mencari tempat berlindung dari hujan serta badai. Masuk
akal kalau mereka memberi nilai tinggi pada pemberian ganjaran secara instan. Masa
depan yang jauh tidak begitu penting saat itu. Dan setelah ribuan generasi di
lingkungan dengan ganjaran langsung, otak kita berkembang untuk lebih menyukai
ganjaran cepat daripada ganjaran jangka panjang. Itulah asal-usul kenapa kita
lebih menyukai ganjaran langsung daripada ganjaran tertunda dalam perspektif
evolusi.
Dan
masih banyak contoh lainnya, dimana memang segala sesuatu dapat dijelaskan dengan
teori evolusi terutama tentang budaya. Misalnya lagi, tentang budaya menuruti
orang tua itu asal-usulnya karena pada zaman dahulu para tetua lebih
berpengalaman dalam mengenal daerah predator/bahaya/kedalaman danau dan mereka
memberi tahu anak cucunya untuk waspada, sehingga budaya untuk mematuhi orang
yang lebih tua terbentuk sampai saat ini, namun indikator apa yang pas untuk
harus menuruti orang tua tetap tergantung pada beberapa faktor/konteks tertentu. Any thoughts?
Source:
Geolive dan Atomic Habits (a book by James Clear)
Comments
Post a Comment