Kalau kata masyarakat kita, definisi wanita baik-baik itu kayak gini: Perawan, bisa masak, penurut, kalem, nggak bertato, nggak merokok. Well, nggak masalah sih kalau ada yang memenuhi standar itu. Yang salah adalah ekspektasi masyarakat atau konstruksi sosial/kultural akan sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan, alias gender. Dari definisi yang diberikan masyarakat tentang perempuan itulah yang bikin wanita merasa nggak berharga karena nggak memenuhi definisi itu.
Konsep gender itu bikin perempuan jadi serba salah.
1. Mau pakai baju terbuka kek atau tertutup kek, tetap aja dicap negatif. Dikatain wanita nggak baik-baik kalau pakaiannya terbuka. Sedang kalau pakaiannya tertutup dituntut jadi manusia suci tanpa dosa (nggak heran jadi banyak yang fake, sugar coating, dan termanipulasi demi menjadi disukai dan dianggap ideal oleh masyarakat). Bahkan sering juga kan kita denger kayak ‘pakai jilbab tapi kok …bla bla bla’ padahal apa yang dikenakan nggak mencerminkan kelakuan seseorang.
2. Perempuan yang nggak nikah, eksistensinya nggak dianggap valid, padahal nggak tau aja tuh kalo setiap manusia itu kompleks, like a universe. We don’t have any idea about someone’s life, they have been through some shit, and of course they have their own reason.
3. Perempuan yang nggak sesuai standar kecantikan? Body shaming dimana-mana, saking seringnya sampai kayak jadi suatu hal yang normal.
4. Kalau ada kasus pelecehan seksual, auto victim blaming ke perempuan.
5. Dibilang nggak tau ajaran agama kalau menuntut equality.
6. Perempuan yang nggak bisa masak dibilang nggak bisa jadi istri dan ibu yang baik. Padahal ini bukan kewajiban bagi perempuan. Pekerjaan rumah tangga itu bukan gender role. Memasak, menyapu, mengepel itu basic life skill bagi siapapun, nggak cuma buat perempuan aja.
7. Nggak melahirkan normal atau nggak bisa/mau punya anak dibilang nggak 100% wanita, dibilang nggak benar-benar menjadi ibu. Padahal mau bagaimanapun metode melahirkan, perempuan punya perjuangannya masing-masing yang sama-sama luar biasa. Dan satu hal lagi, mau perempuan punya anak atau tidak, itu nggak menurunkan nilai dari perempuan itu sendiri.
8. Katanya ‘perempuan itu nggak usah terlalu tinggi mengenyam pendidikan, nggak usah terlalu pintar, nanti nggak ada yang mau. Apalagi kalau ujung-ujungnya cuma jadi ibu rumah tangga!’ Padahal mau perempuan jadi ibu rumah tangga kek mau jadi wanita karir kek asal pilihan itu berasal dari dirinya sendiri tanpa paksaan dari manapun, sama kerennya kok, sama mulianya. Pro choice, freedom of choice, we knew what we need to do, we choose, we take responsible. Lagian emangnya kenapa kalau perempuan habis kuliah terus malah jadi ibu rumah tangga? Jangan pernah kita meremehkan ilmu, pengalaman, dan pengetahuan karena itu pasti akan berguna setiap saat. Toh kita, perempuan sebagai madrasatul ulya, itu seperti membangun peradaban, kita mendidik anak-anak kita pakai ilmu yang sudah kita dapat dan mereka juga tentunya butuh ibu yang cerdas yang membentuk pola pikir dan melatih mental jadi lebih kuat. Kalaupun ada orang yang nggak memilih kita karena menganggap kita terlalu pintar, well that’s mean we deserve someone better. Begitu pula dengan pilihan menjadi wanita karir, kita tahu apa yang perlu kita lakukan agar kondisi lebih baik. Misalnya membantu perekonomian keluarga, biar kebutuhan sandang, pangan, papan bisa terpenuhi dengan lebih baik.
9. Nggak layak jadi pemimpin hanya karena ‘wanita’. Hell, seriously? Kalau begitu, berarti meniadakan hak seseorang untuk memilih dan dipilih. I mean like semua orang itu patut diperlakukan sama, apalagi dalam lingkungan professional. Selama kapasitasnya memenuhi, powerful, visi misi oke, profesionalitasnya bagus, dan dari keseluruhan aspek itu lebih bagus dari kandidat lain, well that's mean women deserve to be treated the same way as well.
Dan masih banyak label negatif lainnya yang melekat pada perempuan. Padahal, perempuan itu moreeee than just a label. So we -as women- just do what we wanna do, don’t give a shit about people's opinions.
Dan kalau misalnya kita nih punya prinsip tentang perempuan ideal berlandaskan suatu acuan moral, well it's totally fine, good for you. Tapi kalau sampai apa yang kita percaya ini menginvalidasi eksistensi orang lain, dan berusaha mengatur semua manusia di muka bumi ini (padahal konsep semacam ketuhanan, agama, itu hal personal) itu baru akan bermasalah. We need to know kalau dunia itu nggak berputar untuk kita saja, nggak cuma tentang kita saja.
So we as society, juga stop mengontrol perempuan atas tubuhnya sendiri. Pahami konsep ‘my body my authority’ yang maksudnya kita punya batasan sendiri atas tubuh kita (berdasarkan prinsip apapun yang kita anut), nggak ada satupun manusia lain yang bisa melanggar batasan tubuh kita SELAIN konsensual/persetujuan kita. Jadi bukan diartikan secara gamblang “suka-suka aku mau ngapain” lantas merugikan dan melanggar otoritas dan hak orang lain ya. Dan perlu dipahami juga bahwa ‘consent’ itu nggak selalu tentang mendukung seks bebas. Konsen itu nggak hanya dalam hubungan seksual saja, melainkan juga segala hal itu butuh konsen, misalnya
“Boleh nggak aku ngasih nomer hp kamu ke si b?”
“Adikku, boleh nggak kakak cium pipi kamu?” dll.
Ketika kita sudah aware tentang konsen, that’s means we knew and respect someone’s personal boundaries.
So guys, kesimpulannya adalah bahwa perempuan berhak lepas dari stigma. 'Setiap manusia' berhak memilih pilihannya sendiri. Stop judging around. Respect each other. And let’s women support women tapi jangan sama yang secircle doang ya wkwk (karena biasanya, kebanyakan yang hate women itu ya dari kalangan women itu sendiri, so yeaaa once again let’s respect and support women as well).
Comments
Post a Comment